FREE-WEST
PAPUA Bersama Aliansi Mahasiswa Papua
Salam
Pembebasan Nasional Bangsa West Papua
YAME NEWS, Sejarah penipuan dan pembodohan
terus terjadi untuk menjajah rakyat dan bangsa West Papua, dan untuk merampok
kekayaan alam di atas tanah Papua. Dalam perundingan antara Pemerintah
Indonesia dan Pemerintah Belanda yang menghasilkan New York Agreement pada
1963, rakyat dan bangsa West Papua tidak dilibatkan. Padahal, bangsa West Papua
sudah memproklamasikan kemerdekaannya pada 1 Desember 1961.
Proses Dekolonisasi yang
dijanjikan oleh Belanda sedang berjalan. Nieuw Guinea Raad (Dewan Perwakilan
Rakyat Niew Guinea) sudah terbentuk pada 5 April 1961. Apalagi, dalam
Konferensi Meja Bundar (KMB), sebagai satu-satunya konferensi yang menghasilkan
pengakuan kedaulatan Indonesia yang ditandatangani di Den Haag pada 2 November
1949, wilayah Papua tidak termasuk di dalamnya.
Secara administrasi wilayah
Papua bukan bagian administrasi Hindia Belanda melainkan administrasi
Hollandia. Selanjutnya, pada 19 Desember 1961, Ir. Soerkarno mengumandangkan
Tiga Komando Rakyat (TRIKORA) dengan tujuan menggagalkan Negara West Papua yang
baru berusia 18 hari, yang dideklarasikan atas kehendak orang Papua. TRIKORA
merupakan awal dari ekspresi penjajahan Indonesia di West Papua.
Sebagai realisasi dari isi
Trikora, Soekarno sebagai Panglima Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian
Barat (Sekarang Papua) mengeluarkan Keputusan Presiden No. 1 Tahun 1962 yang
memerintahkan kepada Panglima Komando Mandala Mayor Jendral Soeharto untuk
melakukan operasi militer dengan nama Operasi Mandala ke wilayah Papua Barat,
dengan dalih merebut wilayah itu dari tangan Belanda. Akhirnya dilakukan
beberapa gelombang operasi militer di Papua Barat dengan satuan militer yang
diturunkan lewat udara dalam fase infiltrasi.
Sejak itu wilayah Papua
ditetapkan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) dari tahun 1963 hingga 1969
dan; berlanjutkan sampai tahun 1990an. Dan di bawah tekanan militer pelaksanaan
Penentuan Pendapatan Rakyat (Pepera 1969) pun dilaksanakan; dan dimenangkan
oleh Indonesia dengan keterlibatan 1.025 orang pemilih dari 800.000 juta jiwa
orang Papua yang punya hak untuk memilih.
Hingga kini, militer
(TNI-Polri) menjadi alat negara Indonesia yang paling ampuh untuk menghalau
gejolak perlawanan Rakyat Papua yang menghendaki kemerdekaan sepenuhnya dari
Indonesia.
Berbagai kasus pelanggaran Hak
Asasi Manusia (HAM) terhadap Rakyat Papua terjadi akibat kebrutalan militer
Indonesia. Berbagai aksi brutal militer Indonesia terus berlanjut. Pada dekade
1980an hingga1990an, tepatnya 26 April 1984, terjadi pembunuhan terhadap tokoh Nasionalis
Papua, Arnold Clemens Ap. Pembunuhan itu disertai pengungsian besar-besaran ke
Papua New Guinea (PNG). Kemudian pembunuhan terhadap DR. Thomas Wanggai pada 13
Maret 1996.
Pada 10 November 2001 terjadi
pembunuhan oleh pasukan khusus Tentara Nasional Indonesia (Kopassus) terhadap
Ketua Dewan Presidium Papua (DPP) Theys Hiyo Eluay. Pada 14 Juni 2012 terjadi
penembakan kilat terhadap Ketua I Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Mako
Tabuni. Selain itu, terjadi jug penangkapan terhadap aktivis KNPB Wamena dan
penembakan kilat terhadap Kordinator Komisariat Militan KNPB Pusat Hubertus
Mabel pada tanggal 16 Desember 2012 di Wamena.
Pada tanggal 8 Desember 2014
terjadi pembunuhan luar biasa, yang masuk kategori pelanggaran HAM berat, di
paniai oleh TNI-Polri yang mengakibatkan 22 orang masyarakat sipil, di
antaranya 4 Orang siswa SMA, meninggal dunia, dan 17 lainya luka-luka kritis.
Kemudian, kisru di Dogiai yang terjadi pada pertengahan November 2916 sampai 24
Januari 2017, yang berawal dari Sweeping yang berlebihan oleh TNI-Polri,
mengakibatkan 2 orang Pemuda meninggal dunia dan belasan lainnya luka-luka kritis.
Masih banyak lagi berbagai
kasus kejahatan terhadap kemanusian yang dilakukan militer Indonesia terhadap
Rakyat Papua lainnya yang tidak terhitung jumlahnya. Pembunuhan di sana-sini
dan dari waktu ke waktu di Papua, membenarkan kehadiran Indonesia di Papua
hanya bertujuan untuk menguasai dan menjajah, bukan untuk membangun Rakyat
Papua.
Begitu pula saat pemerintah
Indonesia menerbitkan ijin eksplorasi dan eksploitasi tambang Freeport melalui
Kontrak Karya I yang diterbitkan pada 7 April 1967 itu, rakyat dan bangsa West
Papua tidak dilibatkan. Padahal status West Papua belum secara resmi diakui
internasional sebagai bagian dari wilayah Indonesia.
Hingga kini, ditengah kisru
antara Indonesia dan Perusahaan Tambang Freeport, antara nasionalisasi perusahaan
(IUPK) dan perpanjangan Kontrak Karya, di Intan Jaya, 600 orang luka parah dan
6 orang meninggal dunia akibat konflik dalam Pesta Demokrasi Pemilihan Kandidat
Kepala Daerah (PILKADA), yang berlangsung sejak 21 sampai 25 Februari 217.
Sampai saat ini, para pemicu konflik belum di proses secara hukum.
Maka, Front Rakyat Indonesia
untuk West Papua bersama Aliansi Mahasiswa Papua menuntut dan mendesak PBB
beserta Rezim Jokowi-Jk untuk segera:
1. Berikan Hak penentuan nasib
sendiri bagi Bangsa West Papua
2. Tutup Freeport dan berikan
Hak Penentuan Nasib Sendiri
3. Usut tuntas kasus
pelanggaran HAM di Papua
4. Tarik militer (TNI-POLRI)
organik dan non organik dari tanah West Papua
5. Usut tuntas aktor koflik
sengketa Pilkada di Intan Jaya Demikian pernyataan sikap ini.
Kami menyerukan kepada seluruh
Rakyat Papua untuk bersatu dan berjuang merebut cita-cita Pembebasan Sejati
Rakyat dan Bangsa Papua Barat. Atas perhatian dan dukungan seluruh Rakyat
Papua, kami ucap terima kasih. Tuhan beserta kita. Salam!
Jumat, 03 Maret 2017
Penanggung Jawab Aksi
Penanggung Jawab Aksi
Aliansi
Mahasiswa Papua [AMP] dan Front Rakyat Indonesia Untuk West Papua [FREE-West
Papua]
Sumber : Akun FB, BP.Knpb Wilayah Timika