BAPAKKU
Di atas tanah warisan leluhur kita, kau diusir eska milik para penindas yang menggunakan orang2 kita sendiri yang katanya intelektual/ pengusaha dan penguasa asli hanya demi beberapa lembar rupiah sesaat.
Nopa, dalam kesederhanaan dan ketidaktahuanmu bahwa tanah dan alam tempat moyang kita dulu hidup dengan berkebun dan berternak alami, sejak orang-orang kulit putih itu masuk, telah menjadi milik negara mereka yang sering disebut NKRI itu.
Nopa, dalam ketidakberdayaan, melawan pun tak mampu, berontak juga tak bisa, berdebat apalagi, kau berdiri sembari berlinang air mata menguyur pipihmu menyaksikan para intelektual asli menyerahkan warisan pusaka kita ke tangan penjahat cum pembunuh itu.
Nopa, dalam diam dan pengharapan akan datangnya roh, tulang belulang dan para arwah leluhur untuk membantu merebut tanah kita, kau duduk merenung seharian di dalam honai, sambil menghapus air mata yang kerap jatuh membasahi lantai beralaskan ilalang, tanpa kedip menatap jauh keluar pintu pagar, menanti datangnya pertolongan.
Nopa, dalam kondisi yang sama, anak-anakmu yg merantau untuk kembali membawa sehelai ijazah pertanda suesika, ternyata pun juga tak usai-usai karena menghadapi penjahat yg sama di dalam jalan panjang dunia pendidikan.
Nopa, semua sudah sama. Di mana-mana kita sedang hadapi satu mokat yang sama yang datang untuk membinasakan dan merebut serta menguasai tanah tumpah darah leluhur kita ini.
Nopa, Meskipun kami suatu waktu datang tanpa ijazah dan gelar yang diberikan oleh para pembunuh itu, tetaplah berdiri teguh melawan dan bertahan karena kita adalah para pria perkasa pemilik tradisi wim yang luhur hingga abad modern ini.
Nopa, bila pun suatu saat nanti kami kembali tanpa membawa hasil, janganlah kecewa karena sesungguhnya kami kembali atau akan gugur sebagai ap kaintek sebagaimana prinsip hidup para pendahulu kita yang telah pergi mendahului kita.
Nopa, hapuskanlah airmatamu dan segeralah bergerak mencari sekop dan parang untuk memulai kerja dibedeng baru di belakang rumah kita, atau diseberang gunung sirowa meskipun jauh, karena bagi kita adalah kelaparan dan mulut tak akan bergerak jika tangan tak bergerak untuk bekerja.
Nopa dengan derai airmata ku tulis ini di pinggir jalan Abepura-Entrop, di medan alienasi kaum muda dari tanah, orang tua dan leluhur demi secuil kertas bernama ijazah dan gelar etik para penjajah.
Tertanda
Anakmu
Sumber : Akun Fb. #Takugamo Bagee