PORT VILA, SATUHARAPAN.COM - Tujuh negara Pasifik
secara resmi membawa isu pelanggaran Hak Asasi
Manusia (HAM) Papua ke dalam Majelis Gabungan Parlemen negara-negara Afrika
Karibia, Pasifik (African, Carribean and Pacific/ACP) dengan Uni Eropa (EU),
yang beranggotakan 97 negara.
Majelis Gabungan yang lebih dikenal dengan nama ACP-EU Joint
Assembly ini mengadakan pertemuan regional ke-14 khusus untuk negara-negara
Pasifik di Port Vila, Vanuatu, pada 19-21 Juli 2017 lalu. Pertemuan itu
kemudian mengeluarkan komunike bersama, yang memuat seruan agar pelanggaran HAM
di Papua dibahas dalam pertemuan parlemen ACP-EU terdekat.
Dalam naskah komunike yang diterima oleh satuharapan.com, dikatakan bahwa yang pertama
kali membawa isu pelanggaran HAM Papua ke forum adalah delegasi Vanuatu.
Langkah itu didukung oleh negara-negara Pasifik lainnya, yaitu Kiribati,
Marshall Islands, Nauru, Samoa, Tonga dan Papua Nugini. Khusus untuk Papua
Nugini, ditegaskan bahwa dukungan mereka terhadap diangkatnya isu Papua, murni
hanya pada soal-soal kemanusiaan.
Dalam komunike tersebut dikatakan bahwa parlemen dari
negara-negara anggota ACP-EU menyerukan agar dihentikan dengan segera
pembunuhan brutal dan tidak masuk akal atas Orang Asli Papua. Mereka juga
menyerukan agar masalah itu dibawa pada pertemuan menteri-menteri ACP-EU pada
November mendatang.
Isu Papua dalam komunike tersebut, hanya salah satu dari tujuh
isu yang diangkat. Isu Papua, yang dalam komunike dituliskan sebagai
"Situasi di Papua Barat," mengambil porsi yang tidak terlalu besar,
dijelaskan dalam satu paragraf yang terdiri dari empat baris. Isu utama dalam
komunike tersebut adalah perihal proses integrasi dan kerjasama regional, negosiasi
Economic Partnership Agreements (EPAs), perspektif Pasifik atas perubahan iklim
serta 'blue economy' dan tata kelola kelautan termasuk perikanan.
Kendati tidak mengambil porsi yang besar dalam komunike,
munculnya isu Papua dalam komunike parlemen ACP-EU menunjukkan keberhasilan
Vanuatu yang selama ini gigih memperjuangkannya. Masuknya isu ini dalam
komunike mengkonfirmasi apa yang sebelumnya diungkapkan salah seorang anggota
delegasi Vanuatu. Pekan lalu, agggota parlemen Vanuatu, Marco Mahe, mengatakan
negara-negara yang tergabung dalam ACP telah menyetujui diangkatnya isu
pelanggaran HAM dalam rapat terpisah yang berlangsung sebelum acara resmi
pembukaan forum ACP-EU Joint Parliamentary Assembly pada 20 Juli lalu.
Ia juga mengatakan delegasi Vanuatu pada pertemuan itu
menyetujui bahwa pemimpin oposisi, Ishmael Laksakau, akan mewakili mereka untuk
mengangkat hal tersebut dalam pertemuan.
Pertemuan terpisah negara-negara anggota ACP mendahului
pembukaan secara resmi ACP-EU Joint Parliamentary Assembly dilaksanakan pada
hari Rabu (19/07). Pertemuan itu dipimpin oleh Co-President ACP-EU Joint
Parliamentary Assembly, Ibrahim R. Bundu. Pada pertemuan itu hadir perwakilan
United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), Octavianus Mote.
Diberitakan delegasi ULMWP datang terlambat pada pertemuan
tersebut, namun anggota ACP sepakat mengangkat isu pelanggaran HAM di Papua.
Mohe mengatakan walaupun Papua bukan anggota ACP, negara-negara
anggota menganggap Papua masuk dalam negara-negara Pasifik. Ia menambahkan pelanggaran
HAM di Papua tidak dapat ditoleransi.
Sekretaris Jenderal United Liberation Movement for West Papua
(ULMWP), Octovianus Mote, yang hadir dalam pertemuan itu atas undangan
pemerintah Vanuatu, membenarkan diangkatnya isu Papua.
Ia bahkan menggarisbawahi sikap Papua Nugini, yang turut
mendukung langkah Vanuatu. "Bahkan Papua Nugini yang secara politik
mengakui Papua adalah bagian integral Indonesia juga mengatakan pelanggaran HAM
di Papua tidak bisa dibiarkan terus-menerus, karena sudah berlangsung sekian
lama," ungkap Mote, kepada Tabloid Jubi.
Walau tak terungkap dalam komunike, Mote mengatakan semua
perwakilan ACP setuju pelanggaran HAM di Papua dapat mengarah pada pemusnahan
etnis Papua jika terus dibiarkan.
Octovianus Mote hadir di Pertemuan ke-14 Majelis Gabungan
Parlemen ACP-EU mewakili ULMWP atas undangan resmi pemerintahan Vanuatu sebagai
tuan rumah. Namun ia tidak memiliki hak bicara. Meskipun demikian, ia mendapat
kesempatan membeberkan fakta dan informasi dasar tentang pelanggaran HAM di Papua.
Sejauh ini belum ada tanggapan dari pemerintah Indonesia atas
hal ini. Kebenaran apakah komunike ini akan membawa dampak yang lebih
signifikan pada pertemuan ACP-EU mendatang masih perlu dicermati lebih jauh.
Sebab, klaim serupa sudah pernah dilontarkan awal Mei lalu tetapi dibantah oleh
pemerintah RI. Ketika itu tujuh negara Pasifik, yaitu Vanuatu, Solomon Islands,
Tonga, Tuvalu, Nauru, Papau dan Marshall Islands mengklaim lewat sebuah
pernyataan bersama bahwa Dewan menteri negara-negara ACP yang beranggotakan 97
negara mengungkapkan keprihatinan atas pelanggaran HAM di Papua. Dalam
pertemuan di Brussels, Johnny Koanapo, delegasi dari Vanuatu, mengklaim bahwa
platform penentuan nasib sendiri disetujui oleh ACP dan akan dibahas pada
pertemuan November.
Pemerintah Indonesia langsung mengeluarkan bantahan terkait
adanya kesepakatan ACP untuk memberi dukungan terhadap penentuan nasib sendiri
Papua. Kedutaan Besar RI di Selandia Baru juga membantah pernyataan yang
mengatakan pertemuan konsultasi kementerian ACP di Brussels mendiskusikan
dukungan terhadap penentuan nasib sendiri Papua.Indonesia bahkan mengatakan ACP
menyepakati untuk tidak akan membahas isu Papua di pertemuan selanjutnya.
Editor: Eben E. Siadari